Wellcome! Selamat datang di SmallSecret-info

Thanks You have visited my 'simple, small' Blog. Hope You All enjoyed.
Terimakasih anda telah berkunjung. Saya sadari sepenuhnya bahwa Blog ini JAUUUUUUUUUH dari sempurna. Meski begitu Harapan saya semoga bisa berguna bagi saya, Anda dan semua... amin.
SmallSecret.

Senin, 07 Maret 2011

Penasaran dengan nama Ratih....

Penasaran aja dengan nama, Ratih


Dalam mitologi Bali

Dalam mitologi Bali, Ratih atau dewi Ratih adalah dewi bulan dan dewi kecantikan.Bahkan mitos yang cukup terkenal di sana mengenai gerhana bulan, bahwa saat terjadi gerhana dewi Ratih yang berlari di kahyangan tertangkap oleh Kala Rau. Ia dikejar karena ialah yang memberi tahu dewa Wisnu bahwa Kala Rau hendak minum dari Tirta Amertha (Air kehidupan abadi).

Dalam Pewayangan
Dalam masyarakat Jawa, masyarakat Hindu dan cerita pewayangan, dewi Ratih  (sering disebut sebagai dewi Kama Ratih) adalah isteri dari Batara Kamajaya.
Batara kamajaya adalah Dewa Cinta, ia salah satu diantara banyak dewa dalam agama hindu maupun dalam cerita wayang purwa yang terkenal  karena ketampanannya, berbudi  pekerti luhur, jujur , lembut dan penuh kasih sayang.  Ia merupakan putra dari Semar dan Dewi  Sanggani putri, dua orang yang juga terkenal berpekerti luhur. Sementara dewi Ratih adalah seorang dewi yang  cantik dan seluruh laku, watak dan budinya sama dengan suaminya.  Mereka adalah pasangan paling serasi, masing-masing selalu menjaga kesetiannya lahir batin dan sehidup semati. Cerita cinta mereka  bahkan lebih menarik daripada Romeo Juliet-nya Shakespeare.
Dalam karya sastra lama, kitab Asmaradhana (atau kadang ditulis Smaradahana) karya empu Dharmaja, banyak mengisahkan kisah cinta kasih mereka berdua.  Sesuai dengan judul karya sastra tersebut smara berarti asmara dan dahana berarti api. Dalam kitab Smaradahana dikisahkan terbakarnya Batara Kamajaya.
Kitab Asmaradhana
Banyak ahli sastra Belanda yang melakukan penelitian terhadap buku Smaradahana itu dan dimuat pada Bibliothica Javanica dalam bahasa Belanda yang disimpan di perpustakaan Nasional. Buku Smaradahana yang asli ditulis dengan tulisan dan bahasa Jawa kuno dalam bentuk tembang (puisi). Prof. Dr. R.M.Ng.Probatjaraka telah melakukan ulasan cukup baik yang dimuat dalam bukunya Kapustakaan Djawi, dengan tulisan latinbahasa Jawa halus diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, untuk cetakan pertama tahun 1952. Ringkasan isi buku Smaradahana kurang lebih sebagai berikut:
Pada suatu musyawarah para Dewa di Suralaya (khayangan) diketahui bahwa khayangan akan diserbu oleh bala tentara raksasa. Serangan itu akan dipimpin oleh Raja Nilarudraka. Semua Dewa merasa tidak mampu menghadapi kesaktian Raja Nilarudraka. Seluruh Dewa merasa panik bagaimana cara mengatasi Raja Nilarudraka dan pasukannya. Kebetulan pada waktu itu Dewa Siwa atau batara Guru ( raja para Dewa) sedang  bertapa.  Kemudian para Dewa mengadakan musyawarah tanpa Batara Guru. Keputusan musyawarah menunjuk Batara kamajaya untuk membangunkan Batara Guru dari tapanya. Berangkatlah batara Kamajaya menuju  pertapaan Batara Guru.
Sesampai dipertapaan Batara Kamajaya tidak berani mendekati Batara Guru yang sedang bersemedi. Dicarilah akal untuk membangunkan Batara Guru dari pertapaannya. Batara Kamajaya melepaskan anak panah bunga berkali-kali tetapi tidak membawa hasil. Panah bunga yaitu kekuatan tenaga dalam (batin) dari seseorang ditujukan kepada orang lain agar tercium harumnya suatu bunga. Batara Kamajaya tidak putus asa. Kemudian dilepaskan panah “panca wisaya” ditujukan kepada Batara Guru. (panca = lima, wisaya= rindu). Panca Wisaya itu berupa rindu pada 5 hal yaitu  rindu suara merdu, rindu pada rasa enak, rindu pada belaian kasih sayang, dan rindu pada bau yang harum. Seketika itu Batara Guru timbul rasa rindu kepada Dewa Uma  permaisurinya. Setelah bangun dari Tapanya, ternyata yang ditatap didepannya adalah Batara Kamajaya. Amarah  Batara Guru pun memuncak, Batara Kamajaya dipandang  memakai mata ketiga yang berada di dahinya. Pandangan itu memancarkan api yang menyala-nyala. Maka terbakarlah Batara Kamajaya dan mati seketika itu juga. Kemudian Batara Guru kembali ke kahyangan.
Dewi Ratih sangat berduka cita mendengar kabar kematian suaminya. Ia bermaksud mati obong (Membakar diri) bersama suaminya sebagai rasa cinta kasih. Kemudian Dewi ratih menyusul ke tempat suaminya mati terbakar. Sesampainya di sana, atas kehendak Batara Guru  api menyala kembali lebih besar. Lambaian nyala api itu tampak bagaikan lambaian tangan Batra Kamajaya memanggil Dewi ratih agar mendekat. Dewi ratih tanpa ragu sedikitpun lalu terjun ke dalam nyala api. Demikianlah Dewi Ratih telah menyatu dengan suaminya.
Mengetahui kejadian itu seluruh dewa berduka cita. Mereka sadar bahwa kematian Batara Kamajaya karena keputusan sidang para Dewa untuk mengatasi bahaya yang sedang mengancam kahyangan. Oleh karena itu para dewa berusaha memohonkan ampun atas kesalahan yang diperbuat oleh Batara Kamajaya. Selain itu para Dewa memohon agar Batra Guru berkenan menghidupkan lagi Batara Kamajaya dan Dewi ratih. Akan tetapi Batara Guru tidak dapat mengabulkan permohonan itu, karena mempunyai pandangan yang lebih jauh. Batara Guru menghendaki keturunan atau kelestarian umat manusia di arcapada (dunia). Maka Batara kamajaya diperintahkan agar tinggal pada setiap hati atau rasa orang laki-laik dan Dewi Ratih tinggal pada hati atau rasa setiap perempuan. Dengan demikian antara orang laki-laki dan perempuan selalu timbul rasa cinta kasih, sehingga kelangsungan hidup di dunia dapat dipertahankan.
Sekembalinya Batara Guru di kahyangan dijemput oleh dewa Uma, permaisurinya. Pasangan Dewa itu saling melepas rindu karena cukup lama tak jumpa. Tak berapa lama berselang dengan kembalinya Batara Guru ke kahyangan, Dewi uma pun hamil.
Pada saat Dewi Uma hamil muda, para Dewa datang menghadap untuk menghormati kembalinya Batara Guru dari bertapa. Kedatangan para dewa membawa hewan tunggangan (kalo jaman sekarang ya kendaraan/ mobil masing-masing). Salah stau Dewa itu adalah Batara Indra menunggang gajah yang terkenal besarnya. Melihat kedatangan Batara Indra menunggang gajah yang besar itu, Dewi Uma sangat terkejut, takut and menjerit-jerit.  Batara Guru menghibur dan meredakan rasa takut permaisurinya.
Dalam hati batara Guru telah mengetahui apa yang akan terjadi akibat dari perasaan takut permaisuri yang sedang hamil muda itu. Maka ia berkata sudah menjadi kehendak Sang Hyang Tunggal, bahwa Dewi Uma akan melahirkan jabang bayi laki-laki berkepala gajah. Setelah sampai waktunya, benarlah Dewi Uma melahirkan bayi laki-laki berkepala gajah dan diberi nama Ganesha.
Waduh… jadi ngelantur nih, kenapa sampai pada cerita Ganesha. Tapi tidak apalah daripada cerita menggantung.
Tidak lama kemudian kahyangan kedatangan bala tentara Raja Nilarudraka. Maksud kedatangannya adalah ingin melamar bidadari kahyangan untuk dijadikan permaisuri. Para Dewa tidak dapat meluluskan lamaran itu sebab semua makhluk di arcapada (dunia) telah diatur oleh Dewata jodohnya masing-masing yaitu Dewa dengan dewi (bidadari), satria dengan puteri, Pandita dengan Endang, raksasa dengan raksasi dan seterusnya. Karena permintaan raja Nilarudraka ditolak, maka terjadilah perang antara bala tentara Dewa menghadapi bala tentara raksasa. Para Dewa tidak mampu menghadapi serangan itu. Batara Guru memutuskan agar Batara ganesa yang masih kecil itu maju ke medan perang. Terjadilah perang yang seru. Semua bala tentara raksasa dihadapi Ganesha dengan gigih. Anehnya setiap bala tentara raksasa dapat dibunuhnya. Batara Ganesa bertambah besar. Seluruh bala tentara raksasa dapat dibinasakan.  Akhirnya Batara Ganesa perang tanding satu lawan satu dengan raja Nilarudraka. Dalam perang itu salah satu gading (taring) Ganesha patahdan  Raja Nilarudraka dapat dibinasakan.
Karena batara Ganesa hanya mempunyai satu taring (gading) maka diberi nama Eka Denta (Eka =satu, Denta=taring/gading). Dalam agama hindu patung ganesa digambarkan gemuk berperut gendut sebagai lambing dewa ilmu pengetahuan. Patung ganesa dalam posisi duduk bersila, Tangan kanan memegang patahan gading dan telapak tangan kiri telentang diatas paha kaki kiri memegang sebuah batok kelapa. Belalai menjulur menuju batok kelapa ditangan kiri sebagai lambing tidak henti-hentinya menuntut ilmu. 
Dalam Beberapa Bahasa
Nama Ratih dalam bahasa Jawa diartikan sebagai bidadari (dewi) sesuai dengan ceritera dalam pewayangan yang tersebar di tanah jawa. Sedangkan dalam bahasa Sansekerta, Ratih bermakna kesenangan atau kegembiraan.
Dalam bahasa-bahasa lain nama Ratih belum di jumpai. Setidak-tidaknya nama Ratih semua bermakna   hal-hal yang baik. Boleh jadi pemberian nama  Ratih pada seorang anak agar kelak memiliki paras dan pekeri layaknya bidadari dan membawa kesenangan bagi keluarga, masyarakat dan alam sekitar.  Amin.


1 komentar: